METROJABAR.CO.ID— Lebih dari 150 klien pemasyarakatan di Jakarta dan ribuan lainnya di 94 Balai Pemasyarakatan (Bapas) seluruh Indonesia turun langsung ke masyarakat untuk melakukan aksi bersih-bersih lingkungan. Aksi ini menjadi bagian dari peluncuran Gerakan Nasional Pemasyarakatan: Klien Bapas Peduli 2025, yang diselenggarakan di Perkampungan Budaya Betawi, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, Kamis (26/6).
Kegiatan sosial ini menjadi simbol kesiapan Pemasyarakatan dalam menyambut implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, yang akan mulai berlaku pada tahun 2026. Salah satu perubahan besar dalam KUHP ini adalah diberlakukannya pidana kerja sosial dan pengawasan sebagai bentuk hukuman alternatif pengganti pidana penjara.
Aksi Sukarela, Kontribusi Nyata Klien Pemasyarakatan
Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, secara resmi meluncurkan gerakan ini, sekaligus menyampaikan bahwa aksi sosial ini bukan sekadar kegiatan simbolis, tetapi cerminan nyata dari semangat pemasyarakatan yang lebih manusiawi dan berdampak positif langsung kepada masyarakat.
“Hari ini Klien Bapas hadir untuk berkontribusi nyata—membersihkan fasilitas umum, membantu masyarakat, dan menunjukkan bahwa mereka bisa menjadi bagian dari solusi sosial. Ini bukti kesiapan Pemasyarakatan dalam menyambut era pidana alternatif,” ujar Menteri Agus.
Ia menambahkan bahwa kerja sosial merupakan bentuk pertanggungjawaban moral dari para pelaku pidana kepada masyarakat, sekaligus sebagai bagian dari proses reintegrasi sosial yang lebih bermakna.
Langkah Strategis Kurangi Overcrowding Lapas dan Rutan
Menteri Agus juga menyinggung pentingnya pidana alternatif dalam mengurangi masalah klasik di lembaga pemasyarakatan, yakni overcrowding. Ia mencontohkan keberhasilan pendekatan serupa terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) sejak diberlakukannya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang berhasil menurunkan jumlah anak di LPKA dan rutan dari 7.000 menjadi sekitar 2.000 anak.
“Keberhasilan ini akan kami ulang untuk pelaku dewasa. Pidana non-penjara tidak hanya lebih efektif dalam pemulihan sosial, tapi juga efisien dalam mengelola kapasitas lapas,” tegasnya.
Peran Strategis PK Bapas: Arsitek Reintegrasi Sosial
Dalam pelaksanaan pidana kerja sosial, peran Pembimbing Kemasyarakatan (PK) menjadi krusial. Menurut Agus, PK bukan hanya pelaksana teknis, tapi juga arsitek yang membangun kembali jembatan sosial yang rusak akibat tindak pidana.
“PK merancang jembatan reintegrasi antara klien, masyarakat, dan aparat hukum. Mereka memainkan peran penting dalam keberhasilan reformasi pemasyarakatan,” ujarnya.
Dukungan Akademisi dan Rencana Jangka Panjang
Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia yang turut hadir, menyambut baik pelaksanaan aksi ini. Ia menyebutnya sebagai contoh ideal pelaksanaan pidana kerja sosial di masa depan.
“Saya sangat terkesan. Ke depannya, pidana sosial bisa berbentuk pelayanan di panti jompo, sekolah, hingga tempat rehabilitasi,” ungkapnya.
Harkristuti juga menyoroti pentingnya peningkatan kualitas dan jumlah PK sebagai ujung tombak pelaksanaan pidana alternatif. Usul tersebut langsung mendapat respons positif dari Menteri IMIPAS.
Gerakan Sosial Berkelanjutan Menuju 2026
Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Mashudi, menegaskan bahwa Gerakan Nasional ini akan menjadi kegiatan sosial bulanan hingga pidana kerja sosial resmi diterapkan pada 2026.
“Kami siap mendampingi klien dari tahap pra-adjudikasi hingga pasca ajudikasi, sesuai arahan Bapak Menteri. Ini menegaskan komitmen kami bahwa Pemasyarakatan Pasti Bermanfaat,” tegas Mashudi.
Dukungan Luas dari Stakeholder Nasional
Kegiatan peluncuran ini turut dihadiri perwakilan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, unsur aparat penegak hukum (Polisi, Kejaksaan, dan Pengadilan), serta para pimpinan tinggi Kementerian IMIPAS. Hadir pula secara daring seluruh kepala kantor wilayah, kepala Bapas, kepala daerah, dan stakeholder lainnya dari berbagai wilayah Indonesia.
Dengan diberlakukannya KUHP baru nanti, cakupan klien Pemasyarakatan akan diperluas, mencakup mereka yang menjalani pidana kerja sosial dan pengawasan, bukan hanya klien asimilasi dan pembebasan bersyarat. Reformasi ini diharapkan dapat menciptakan sistem pemidanaan yang lebih humanis, progresif, dan berkeadilan restoratif***