METRO JABAR.CO.ID – Kasus cap lebur emas PT Aneka Tambang (Antam) Tbk. kembali menjadi sorotan publik. Pasalnya, proses hukum yang tengah berlangsung dinilai menimbulkan kebingungan di masyarakat dan berpotensi mengganggu kepercayaan terhadap produk emas milik perusahaan pelat merah tersebut.
Ahli hukum pidana sekaligus Wakil Rektor IV Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dr. Septa Candra, SH, MH, menegaskan bahwa penanganan perkara ini harus dilakukan secara profesional, transparan, dan tidak sensasional.
“Ini bukan hanya soal hukum. Dampaknya bisa langsung terasa ke sektor bisnis dan psikologis publik. Emas Antam adalah produk kepercayaan masyarakat,” ujar Septa kepada wartawan, Senin (28/7/2025).
Menurut Septa, vonis terhadap enam mantan pejabat Unit Bisnis Pengelolaan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPPLM) PT Antam mengungkap fakta menarik. Ia menilai narasi tentang 109 ton emas palsu adalah keliru. Yang terjadi sebenarnya adalah penggunaan cap atau merek Antam secara ilegal oleh pihak swasta, yang emasnya diproduksi dari sumber tidak resmi.
“Bukan emas palsu. Emas itu asli, tapi tidak berasal dari produksi resmi Antam. Mereka pakai cap Antam tanpa izin,” tegasnya.
Fakta persidangan juga menunjukkan bahwa kerugian negara yang disebut-sebut mencapai Rp 5,9 kuadriliun, ternyata menurut putusan hakim hanya sekitar Rp 3,3 triliun. Perbedaan angka ini menimbulkan pertanyaan soal keakuratan dakwaan dan metode penghitungan kerugian oleh pihak Kejaksaan Agung.
Septa menyebut bahwa pasal-pasal yang tepat dalam kasus ini seharusnya mencakup penipuan, pemalsuan merek, pelanggaran perlindungan konsumen, dan kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh oknum internal.
“Penyidik sebaiknya mendasarkan proses hukum pada fakta dan unsur pidana yang relevan. Jika tidak, publik bisa salah persepsi,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa PT Antam merupakan satu-satunya produsen emas di Asia Tenggara yang telah tersertifikasi oleh London Bullion Market Association (LBMA). Artinya, emas Antam telah memenuhi standar internasional dan hampir mustahil dipalsukan secara fisik tanpa diketahui oleh otoritas terkait.
Kekhawatiran utama Septa adalah kemungkinan turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap produk emas Antam jika kasus ini tidak ditangani secara terbuka dan hati-hati. Ia berharap Kejaksaan Agung memberikan penjelasan terang dan komprehensif kepada publik.
“Keterbukaan sangat penting. Jika dibiarkan simpang siur, publik bisa takut beli emas Antam. Padahal selama ini, Antam adalah tolok ukur emas terpercaya di Indonesia,” tegasnya.
Penegakan hukum, kata dia, harus tetap mengedepankan prinsip due process of law dan tidak menyimpang dari prosedur yang adil. Sebab, penanganan hukum yang terburu-buru atau penuh tekanan publik bisa berdampak buruk terhadap keadilan itu sendiri.
“Kalau proses hukum menyimpang, dampaknya bukan hanya pada keadilan, tapi juga pada legitimasi hukum itu sendiri,” tutupnya ***
Sumber Berita : Rilis