Banggai, Sulteng-METROJABAR.CO.ID | Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama PT Aimtopindo melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat dengan mengembangkan bioteknologi pengolahan kotoran hewan (kohe) menjadi pupuk organik di Desa Cendanapura, Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, pada Selasa (8/10/2025). Program ini menjadi bagian dari upaya mendorong sistem pertanian berkelanjutan di daerah terpencil.
Selain menyosialisasikan teknologi, kedua pihak juga turut melakukan panen raya bersama masyarakat sebagai bukti keberhasilan penggunaan pupuk hasil olahan kohe yang dikembangkan oleh tim ITB. Kegiatan ini dihadiri oleh aparat setempat, Kapolsek, Danramil, jajaran ITB, PT Aimtopindo, serta para petani dan warga.
Program tersebut merupakan bentuk nyata penerapan sistem pertanian terpadu yang memanfaatkan limbah ternak menjadi produk bernilai tinggi seperti pupuk cair, pupuk padat, dan biogas. Teknologi ini telah diuji selama dua tahun dan kini memasuki panen ketiga sebagai tanda keberhasilan dan konsistensi penerapannya.
“Kami memulai dari proses ilmiah di kampus, lalu menyalurkan hasil riset ini ke masyarakat lewat kegiatan pengabdian. Program ini bukti nyata bahwa ilmu pengetahuan bisa langsung berdampak pada kesejahteraan petani,” ujar Dr. Ir. Tri Partono Adhi, dosen Teknik Kimia ITB sekaligus perwakilan LPPM ITB.
Pemilihan wilayah Banggai didasari oleh potensi lahan yang luas serta masyarakat yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan peternakan, namun memiliki keterbatasan akses terhadap teknologi.
“Daerah ini minim sentuhan teknologi. Padahal peluangnya besar. Kami ingin membantu masyarakat bertani lebih produktif dengan metode yang efisien dan ramah lingkungan,” lanjut Tri.
Sebelum penerapan teknologi ini, masyarakat masih menggembalakan sapi secara liar sehingga kotorannya tidak terkumpul dan tidak diolah dengan baik. Dengan metode baru, kotoran sapi dikumpulkan, diolah menggunakan kultur mikroba, dan diubah menjadi pupuk yang lebih efektif.
Direktur Utama PT Aimtopindo, Setyo Yanus Sasongko, menegaskan bahwa keberhasilan program ini merupakan hasil kolaborasi antara akademisi, swasta, dan pemerintah.
“ITB sebagai inovator, kami dari swasta sebagai inkubator teknologi, dan tentu ke depan peran pemerintah sebagai sponsor akan sangat penting. Sinergi ini mempercepat penerapan teknologi dan menyesuaikannya dengan kebutuhan masyarakat,” ujarnya.
PT Aimtopindo berperan langsung dalam penerapan teknologi di lapangan, mendampingi petani setiap hari, dan memastikan standar ilmiah ITB tetap terjaga. Selain itu, biogas hasil pengolahan kohe juga tengah dikembangkan sebagai sumber listrik dan energi rumah tangga di daerah terpencil.
Kepala Desa Pandanwangi, Kadek Suardika, menyampaikan apresiasinya atas kehadiran ITB dan PT Aimtopindo di wilayahnya. Ia berharap program ini dapat berkelanjutan dan menginspirasi pengembangan usaha tani lokal.
“Kegiatan ini memberi dampak nyata, tidak hanya pada produktivitas pertanian, tapi juga membuka peluang usaha baru bagi masyarakat, khususnya kaum ibu,” ujarnya.
Program ini dinilai berpotensi mendukung ketahanan energi dan pangan nasional. Selain mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia impor, teknologi biogas juga menjadi solusi energi alternatif di wilayah yang sulit dijangkau pasokan listrik.
“Harapan kami sederhana: teknologi ini bisa direplikasi di berbagai daerah lain. Pemerintah tak harus selalu mengeluarkan dana besar, cukup memberikan dukungan regulasi dan restu, karena teknologi ini bisa dijalankan secara mandiri oleh masyarakat dan mitra industri,” tutup Tri Partono. ***